Kamis, 24 November 2011

Email bisa jadi kamarahan


13218620601610101226
Illustrasi dari Google
Bisakah kita marah lewat email? Aku percaya bahwa tidak sedikit masing2 dari kita pernah marah bahkan sering marah lewat email. Kalau marah2 di dunia nyata, sangat sering, terlebih dalam pekerjaan lapangan seperti aku. Tetapi, bagaimana etika bermarah2an lewat email? Mungkin beberapa ang aku amati dan yang aku alami bisa menjadi contoh untuk orang lain …..
Buat kita, para pekerja di era globalisasi ini, email adalah sesatu yang sangat vital dalam pekerjaan kita. Jangankan untuk pekerja seperti kita, anakku yang di SMA ternyata mendapat tugas bukan sepertidudlu, setelah diterangkan gurunya menjadwal untuk membuat pekerjaan rumah di papan tulis, tetapi member tugas lewat email. Jadi, malan2 bisa tiba2 saja ‘muncul’ tugas baru lewat email anak2 muridnya ….. luar biasa ….. Nah, apa lagi kita sebagai generasi era globalisasi?
Hubungan antara teman dan mitra kerja banyak dilakukan lewat gadget, atau internet, salah satunya lewat email. Buat aku, email adalah sarana untuk berkomunikasi dan berinteraksi bagi teman dan mitra kerja. Dalam pekerjaanku, aku adalah coordinator arsitektur dan interior untuk proyekku dan aku harus memimpin meeting antara konsultan2 atau kontarktor2. Dan aku juga notulennya ( karena tidak punya sekretaris ….. kaciaaannnn deh Christie ). Hasil risalah rapatnya ( MOM = Minute of Meeting ) biasanya aku lasung email ke semua peserta rapat untuk tigas minggu depannya dan 2 hari sebelum meeting minggu depannya, biasanya aku kirim ‘remainder’ untuk semua peserta rapat. Dan itu sealu aku ‘cc’ kan untuk semua boss ku yang memang berhubungan supaya tidak ada yang tidak mengerti tentang meeting itu dan bisa saling berkomunikasi, karena pekerjaan proyekku memang sangat cepat …..
1321862370126457593
Email adalah media dalam berinteraksi di dunia maya, walau pararel dengan dunia nyata, sepert pekerjaanku itu. Marah2 dalam email? Tidak terhitung lagi, apalagi, aku sebagai arsitek in-house dan harus bisa berkoordinasi dengan semua mitra kerja ( konsultan, kontraktor atau supplier, yang jumlahnya sampai ratusan perusahaan ). Banyak mitra kerja tidak melakukan apa yang aku / kami minta, karena mungkin belum selesai dalam penugasannya atau memang mereka sibuk dengan proyek2 lain. Dan apa yang aku lakukan? Walau dengan etika, tetap saja aku harus MARAH untuk selesainya proyekku.
Bertahun2 aku mengamati dan belajar ‘cara marah memakai email’ termasuk ‘marah’ dengan orang2 yang di’atas’ kita, seperti direktur2 mitra kerja kita. Ada beberapa konsep yang mungkin bisa dijadikan patokan sebagai ‘marah yang beretika dan elegan’ :
1.       Email bisa mencatat dalam berinteraksi, termasuk ‘interaksi marah’, yang mungkin untuk bisa menjadi ‘barang bukti’ ketika kita marah dengan mitra kerja kita dalam pekerjaan kita.
2.       Email bisa dijadikan media kemarahan kita JIKA tingkat emosi rendah!
Jika hanya berinteraksi dengan teman, sebaiknya kita jangan marah2 di email, tetapi agak susah jika didalam pekerjaan, seperti pekerjaanku. Bukan hanya tidak ada waktu untuk bertemu selain meeting rutin untuk penyelesaian proyekku, tetapi ditambah dengan kita harus ‘kejar2an’ waktu dan tidak bisa mengulur masalah karena ‘life go on’ dan deadline tidak bisa diundur. Dan dalam pekerjaan seperti aku, bisa jadi banyak yang ingin menjatuhkan aku, sehingga aku butuh saksi  apa yang aku lakukan termasuk amarahku. Sehingga, kemarahanku sering harus melalui email, karena email akan mencatat apa yang terbaca.
Hati2 dengan adanya ‘cc’ dan juga ‘bcc’. Beberapa pernah, mitra kerjaku marah kepadaku dengan ‘cc’ kepada bossku. Tidak apa2. Jika kita memang tidak salah, mengapa harus takut? Aku membalasnya dengan hati2 dan beritikad baik. Silahkan dibaca oleh siapapun, termasuk boss kita. Dalam pengalamanku, bossku tidak pernah berkomentar jika aku dan mitra kerjaku saling marah dengan etika. Jika sudah selesai, palingan bossku memanggilku, untuk berdiskusi untuk menjadi lebih baik dan aku tidak pernah disalahkan tentang itu. Ya, hubungan antara pekerja dan boss memang harus baik sehingga bisa terbuka dan bisa terus berkomunikasi dan berdiskusi …..
Tapi jangan lupa, bahwa email bisa dijadikan media kemarahan kita jika tingkat emosi kita rendah! Karena jika tingkat emosi kita tinggi, yang ada akan bisa saling memaki dan itu akan bisa ‘membahayakan’, karena email bisa menjadikan alat bukti dalam berinteraksi, apalagi kalau saling memaki …..
Karena dalam pekerjaanku pararel dalam dunia maya, sebaiknya kita sudah pernah bertemu muka. Beberapa kebutuhan aku harus mencari supplyer termasuk supplyer dari luar negeri. Biasanya sih mereka pasti ingin bertemu muka untuk  berdiskusi lebih lanjut. Beberapa kali bertemu muka, kami bisa bekerja sama menangani proyek tersebut. Setelah itu, mereka akan ikut meeting rutin seperti yang aku ceritakan diatas.
Jadi, jika belum pernah bertemu muka dalam dunia nyata, sebaiknya kita jangan marah2 lewat email. Adalah tidak pantas jika kita memarahi orang lain ewat email, sebenarnya. Walau demikian, kemarahan lewat email bisa dimengerti dengan beberapa batasan tertentu :
1.       Jangan marah lewat email jika belum pernah bertemu muka
2.       Jangan marah lewat email jika masing2 dalam emosi tinggi
3.       Jangan marah lewat email jika berbalas 3 kali
Aku pernah memarahi anak buahku dengan email ketika aku sedang keluar negeri dalam tugasku dan anak buahku menyalahi aturan kita yng sudah disusun dengan susah payah sebelum aku berangkat. Semakin memikirkannya, aku semakin emosi karena apa yang aku susun menjadi berantakan dan anak buahku ‘ngeyel’ tidak karuan. Setelah 3 kali berbalasan, aku menghentikan aksi amarahku lewat email. Mau telepon, susah, karena dunia berputar, aku siang hari disana anak buahku malam hari di Jakarta. Aku hanya membalas ringan ketika email yang ke-4 aku kirim supaya permasalahan ini diselesaikan setelah aku pulang ke Jakarta.
13218625171337643284
Masing2, aku dan anak buahku akan mencari referensi hasil diskusi yang menjadikan permasalahan, sehingga masing2 bisa dengan kepala dingin bicara setelah kepulanganku. Dan masing2 kita print untuk menjadikan bukti permasalahan dalam ’sidang’ di pekerjaanku. Karena setelah lebih dari 3 kali berbalas, sebaiknya kita bertemu muka untuk menyelesaikannya karena tidak akan habis2 saling ‘ngeyel’ dan bisa menjadikan kemarahan lebih keras lagi, bisa sampai saling memaki.
Ini juga mungkin bisa menjadi masukan, tentang kemarahan memakai email. Bahwa, sebelum memencet ‘enter’ :
1.       Kita harus memonitor emosi, seperti yang aku tulis diatas bahwa jangan memalah email dalam emosi tinggi
2.       Buatlah draft balasan email dan jika mungkin bisa didiskusikan dengan teman jika ini bukan  masalah pribadi
3.       Jangan berpanjang2 menulis di email, jika memang panjang sebaiknya lasung melewati telpon karena bisa menjadi salah sangak bila memakai tulisan
4.       Jangan pernah membuat ‘yang memalukan’ ( emberassing ) walau itu anak buah sendiri, karena kita tidak tahu, kemana email tersebut akan dikirim kecuali untuk kita. Bisa jadi akan memalukan diri sendiri
Seperti yang aku tulisankan di‘e-Generation’: Tetap Harus Bisa Melihat Kesempurnaan Tuhan dalamdan  Dunia Ini Sudah Semakin Sempit ….. bahwa teknologi bisa menjadikan hidup kita lebih nyaman dan cepat, termasuk email. Tetapi tetaplah hati2 untuk menggunakannya. Email adalah teknologi untuk membuat kita saling terhubung dengan hidup kita, termasuk dalam lingkungan pekerjaan kita. Mungkin sekarang, tanpa email kita tidak bisa bekerja secepat sekarang, tanpa email aku tidak bisa berhubungan dengan banyak orang dan tanpa email aku tidak bisa mengirimkan banyak berita dan perintah boss sebagai mitra kerja.
Jadi, bisakah kita marah melalui email? Jawabannya : BISA , tetapi tetap ada etika dalam melaksanakannya …..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar